RESUME JURNAL
AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA
Indonesia
merupakan salah satu negara terbesar penghasil kelapa sawit di dunia dengan
luas areal 3,76 juta Ha atau 31,4 % dari luas total kebun kelapa sawit dunia
[1]. Oleh karenanya jumlah limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) bisa
mencapai 1,7 juta ton/tahun. Potensi TKKS cukup melimpah dan belum dimanfaatkan
secara optimal untuk kegiatan produksi yang mempunyai nilai tambah ekonomi yang
tinggi [2]. Serat TKKS sebenarnya mengandung selulosa dan holoselulosa yang
cukup tinggi sehingga layak dikembangkan dalam teknologi bahan, terutama bidang
rekayasa beton. Efek penambahan serat TKKS dalam pembuatan bahan bangunan
(beton) antara lain: ringan, kekuatan mekanik tinggi dan ramah lingkungan [3].
Serat ini juga berfungsi sebagai penguat serta meningkatkan kekuatan tarik agar
lebih daktail dari pada beton pada umumnya. Beton biasanya bersifat getas, adanya
serat sebagai penguat pada beton tersebut maka dapat mencegah terjadinya
perambatan retakan akibat beban maupun panas hidrasi. Serat TKKS yang digunakan
dalam pembuatan beton memberikan prospek dalam penyediaan bahan bangunan yang
murah dengan memanfaatkan lokal resources yang ramah lingkungan (eco-friendly).
(Gurning, 2013)
Perkebunan
kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan tanaman tropik yang penting dan
berkembang pesat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Luas perkebunan sawit di
Indonesia telah mencapai 2.461.827 ton pada tahun
1997. (Batubara, 2003)
Sejak dahulu
ternak diintegrasikan pada perkebunan kelapa sawit dengan sistem penggembalaan,
walaupun secara terbatas dan belum terkontrol. Potensi integrasi produksi
ternak dengan perkebunan belum diupayakan dan dimanfaatkan
secara optimal,
karena terbatasnya dukungan teknologi hasil penelitian. Vegetasi hijauan
diantara pohon kelapa sawit; hasil ikutan industri pengolahan minyak sawit
seperti bungkil inti sawit (palm kernel cake); lumpur sawit (solid decanter)
dan hasil ikutan di kebun seperti daun dan pelepah sawit, belum dimanfaatkan
secara optimal untuk mendukung produksi ternak. Bungkil inti sawit sebagian
besar di ekspor ke Eropa untuk pakan sapi perah dan sangat terbatas dimanfaatkan
dalam negeri sendiri. Keadaan ini pada umumnya disebabkan peternak di Indonesia
skala pemilikannya kecil sebagai usaha sambilan dan belum menuntut teknik
beternak yang maju. Hal lain juga mungkin disebabkan terbatasnya dukungan dan
informasi teknologi dari hasil penelitian, sehingga tidak menarik perhatian
para pemilik modal. Atas dasar pertimbangan diatas, perlu pokok pemikiran untuk
mengembangkan usaha ternak pada ekosistem perkebunan secara terpadu dan
berwawasan agribisnis untuk menunjang target swasembada daging, menciptakan
petani peternak yang tangguh dan mandiri. Dukungan teknologi hasil penelitian
sangat dibutuhkan untuk membangun model integrasi ini.(Batubara, 2003)
Industri kelapa
sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil
inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong, dan solid (Aritonang 1986;
Pasaribu et al. 1998; Utomo et al. 1999). Bungkil inti sawit mempunyai nilai
nutrisi yang lebih tinggi dibanding limbah lainnya dengan kandungan protein
kasar 15% dan energi kasar 4.230 kkal/kg (Ketaren 1986) sehingga dapat berperan
sebagai pakan penguat (konsentrat). Namun, bungkil inti sawit di Kalimantan
Tengah merupakan komoditas ekspor yang harganya relatif mahal sehingga bukan
merupakan limbah, dan akan menjadi bahan pakan yang mahal bila diberikan pada
ternak. Serat perasan buah dan tandan buah kosong bersama-sama dengan cangkang
biasa- nya dibakar dijadikan abu untuk di- manfaatkan sebagai pupuk sumber
kalium. Solid merupakan salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak
sawit kasar. Di Sumatera, limbah ini dikenal sebagai lumpur sawit, namun solid
biasanya sudah dipisahkan dengan cairannya sehingga merupakan limbah padat. Ada
dua macam limbah yang dihasilkan pada produksi CPO, yaitu limbah padat dan
limbah cair.(Utomo & Widjaja, 2004)
Perkembangan
sektor perkebunan di Provinsi Jambi mengalami peningkatan yang cukup signifikan
terutama perkebuanan karet dan kelapa sawit. Provinsi Jambi dahulunya dikenal
dengan komoditi karet yang merupakan komoditi unggulan perkebunannya namun
sejak masuknya komoditi kelapa sawit ke Provinsi Jambi tahun 1985 banyak petani
yang ikut mengusahakan komoditi kelapa sawit. Setiap tahun terjadi peningkatan
luas lahan perkebunan kelapa sawit yang cukup signifikan di Provinsi Jambi. (Anggreany, Lubis, & Sardi, 2013)
Menurut Sunarko
(2008) minyak kelapa sawit memiliki prospek pemasaran yang cukup menjanjikan di
dunia. Hal ini sejalan dengan pendapat Fauzi kelapa sawit dapat dikembangkan
sebagai salah et al., (2008) yang menyatakan bahwa Minyak satu bahan bakar dan
digunakan untuk kebutuhan bahan baku industri, seperti industri pangan serta
industri non-pangan, seperti kosmetik dan farmasi. Perkembangan komoditi kelapa
sawit dinilai cukup menjanjikan apabila dikelola dengan baik. Kesesuaian lahan
juga menjadi pertimbangan dalam mengembangkan komoditi kelapa sawit seperti di
wilayah Indonesia yang pada umumnya sangat cocok untuk pengembangan komoditi
kelapa sawit tersebut.(Anggreany et al., 2013)
Minyak sawit
atau Crude Palm Oil (CPO) merupakan produk utama dari perkebunan kelapa sawit
yang mengalami pertumbuhan produksi signifikan, dengan rata-rata pertumbuhan
sebesar 10,13% selama 3 dasawarsa terakhir. Sebagian besar hasil produksi
minyak sawit di Indonesia merupakan komoditas ekspor. Pangsa produksi CPO
Indonesia di pasar internasional senantiasa menunjukkan tren peningkatan. Total
produksi minyak sawit dunia pada 2010 sebesar 46,7 juta ton dimana Indonesia
dan Malaysia menguasai 85,22% produksi minyak sawit dunia. Pangsa CPO Indonesia
sebesar 22,1 juta ton, sedangkan Malaysia sebesar 17,7 juta ton (Product Board
for Margarin Fat and Oils, 2010). Namun, Indonesia masih belum mampu bersaing
dengan Malaysia dalam industry hilir minyak sawit. Sejak tahun 1996, Malaysia
telah mengembangkan industry hilir minyak sawit yang menghasilkan produk hilir
minyak sawit dengan nilai tambah yang tinggi dibandingkan dengan melakukan
ekspor minyak sawit mentah (CPO).(Nayantakaningtyas & Daryanto, 2012)
Data dari
Direktorat Jenderal Perkebunan (2011) menunjukkan bahwa 57,97% ekspor minyak
sawit Indonesia masih berupa CPO, dan 42,03% dalam bentuk produk olahan
sederhana yang berupa olein/ minyak goreng dan oleokimia dasar. Saat ini,
Indonesia baru menghasilkan 23 jenis produk hilir minyak sawit dari sekitar 100
produk hilir minyak sawit yang berupa pangan maupun nonpangan. Pemanfaatan CPO
untuk produk olahan dilakukan oleh industri pangan (minyakData dari Direktorat
Jenderal Perkebunan (2011) menunjukkan bahwa 57,97% ekspor minyak sawit
Indonesia masih berupa CPO, dan 42,03% dalam bentuk produk olahan sederhana
yang berupa olein/ minyak goreng dan oleokimia dasar. Saat ini, Indonesia baru
menghasilkan 23 jenis produk hilir minyak sawit dari sekitar 100 produk hilir
minyak sawit yang berupa pangan maupun nonpangan. Pemanfaatan CPO untuk produk
olahan dilakukan oleh industri pangan (minyak goreng, margarin, shortening,
cocoa butter substitutes, dan vegetable ghee) dan industri nonpangan seperti
oleokimia (fatty acid, fatty alcohol, and gliserin) dan biodiesel (Departemen
Perindustrian, 2009). Selain itu, sebagian besar CPO yang diolah di dalam
negeri masih berupa produk bernilai tambah rendah yakni minyak goreng
(Departemen Perindustrian, 2007). Semakin kompetitifnya persaingan di pasar
global dan juga sesuai dengan program peningkatan nilai tambah maka penting
untuk mengetahui daya saing minyak sawit di Indonesia dan rumusan strategi yang
mampu meningkatkan daya saing tersebut.(Nayantakaningtyas & Daryanto, 2012)
DAFTAR PUSTAKA
Anggreany, S., Lubis, A., & Sardi, I. (2013).
Persepsi Petani terhadap Aspek Teknis Komoditi Kelapa Sawit di Desa Ladang
Peris Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari. Jurnal Penyuluhan, 9(1),
88–94.
Batubara, L. P.
(2003). Potensi Integrasi Peternakan dengan Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai
Simpul Agribisnis Ruminan. WARTAZOA, 13(3), 83–91.
Gurning, N.
(2013). Pembuatan Beton Serat Tandan Kosong Kelapa Sawit. TELAAH Jurnal Ilmu
Pengetahuan Dan Teknologi, 31(1), 13–20.
Nayantakaningtyas,
J. S., & Daryanto, H. K. (2012). Daya Saing dan Strategi Pengembangan
Minyak Sawit di Indonesia. Jurnal Manajemen & Agribisnis, 9(3),
194–201.
Utomo, B. N.,
& Widjaja, E. (2004). Limbah padat pengolahan minyak kelapa sawit sebagai
sumber nutrisi ternak ruminansia. Jurnal Litbang Pertanian, 23(1),
22–28.
0 komentar:
Posting Komentar