Selasa, 02 Januari 2018

UAS Aplikom "RESUME JURNAL AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA"

RESUME JURNAL 

AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

Indonesia merupakan salah satu negara terbesar penghasil kelapa sawit di dunia dengan luas areal 3,76 juta Ha atau 31,4 % dari luas total kebun kelapa sawit dunia [1]. Oleh karenanya jumlah limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) bisa mencapai 1,7 juta ton/tahun. Potensi TKKS cukup melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal untuk kegiatan produksi yang mempunyai nilai tambah ekonomi yang tinggi [2]. Serat TKKS sebenarnya mengandung selulosa dan holoselulosa yang cukup tinggi sehingga layak dikembangkan dalam teknologi bahan, terutama bidang rekayasa beton. Efek penambahan serat TKKS dalam pembuatan bahan bangunan (beton) antara lain: ringan, kekuatan mekanik tinggi dan ramah lingkungan [3]. Serat ini juga berfungsi sebagai penguat serta meningkatkan kekuatan tarik agar lebih daktail dari pada beton pada umumnya. Beton biasanya bersifat getas, adanya serat sebagai penguat pada beton tersebut maka dapat mencegah terjadinya perambatan retakan akibat beban maupun panas hidrasi. Serat TKKS yang digunakan dalam pembuatan beton memberikan prospek dalam penyediaan bahan bangunan yang murah dengan memanfaatkan lokal resources yang ramah lingkungan (eco-friendly). (Gurning, 2013)

Perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan tanaman tropik yang penting dan berkembang pesat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Luas perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 2.461.827 ton pada tahun
1997. (Batubara, 2003)

Sejak dahulu ternak diintegrasikan pada perkebunan kelapa sawit dengan sistem penggembalaan, walaupun secara terbatas dan belum terkontrol. Potensi integrasi produksi ternak dengan perkebunan belum diupayakan dan dimanfaatkan
secara optimal, karena terbatasnya dukungan teknologi hasil penelitian. Vegetasi hijauan diantara pohon kelapa sawit; hasil ikutan industri pengolahan minyak sawit seperti bungkil inti sawit (palm kernel cake); lumpur sawit (solid decanter) dan hasil ikutan di kebun seperti daun dan pelepah sawit, belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung produksi ternak. Bungkil inti sawit sebagian besar di ekspor ke Eropa untuk pakan sapi perah dan sangat terbatas dimanfaatkan dalam negeri sendiri. Keadaan ini pada umumnya disebabkan peternak di Indonesia skala pemilikannya kecil sebagai usaha sambilan dan belum menuntut teknik beternak yang maju. Hal lain juga mungkin disebabkan terbatasnya dukungan dan informasi teknologi dari hasil penelitian, sehingga tidak menarik perhatian para pemilik modal. Atas dasar pertimbangan diatas, perlu pokok pemikiran untuk mengembangkan usaha ternak pada ekosistem perkebunan secara terpadu dan berwawasan agribisnis untuk menunjang target swasembada daging, menciptakan petani peternak yang tangguh dan mandiri. Dukungan teknologi hasil penelitian sangat dibutuhkan untuk membangun model integrasi ini.(Batubara, 2003)

Industri kelapa sawit menghasilkan limbah yang berpotensi sebagai pakan ternak, seperti bungkil inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong, dan solid (Aritonang 1986; Pasaribu et al. 1998; Utomo et al. 1999). Bungkil inti sawit mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding limbah lainnya dengan kandungan protein kasar 15% dan energi kasar 4.230 kkal/kg (Ketaren 1986) sehingga dapat berperan sebagai pakan penguat (konsentrat). Namun, bungkil inti sawit di Kalimantan Tengah merupakan komoditas ekspor yang harganya relatif mahal sehingga bukan merupakan limbah, dan akan menjadi bahan pakan yang mahal bila diberikan pada ternak. Serat perasan buah dan tandan buah kosong bersama-sama dengan cangkang biasa- nya dibakar dijadikan abu untuk di- manfaatkan sebagai pupuk sumber kalium. Solid merupakan salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak sawit kasar. Di Sumatera, limbah ini dikenal sebagai lumpur sawit, namun solid biasanya sudah dipisahkan dengan cairannya sehingga merupakan limbah padat. Ada dua macam limbah yang dihasilkan pada produksi CPO, yaitu limbah padat dan limbah cair.(Utomo & Widjaja, 2004)

Perkembangan sektor perkebunan di Provinsi Jambi mengalami peningkatan yang cukup signifikan terutama perkebuanan karet dan kelapa sawit. Provinsi Jambi dahulunya dikenal dengan komoditi karet yang merupakan komoditi unggulan perkebunannya namun sejak masuknya komoditi kelapa sawit ke Provinsi Jambi tahun 1985 banyak petani yang ikut mengusahakan komoditi kelapa sawit. Setiap tahun terjadi peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit yang cukup signifikan di Provinsi Jambi. (Anggreany, Lubis, & Sardi, 2013)

Menurut Sunarko (2008) minyak kelapa sawit memiliki prospek pemasaran yang cukup menjanjikan di dunia. Hal ini sejalan dengan pendapat Fauzi kelapa sawit dapat dikembangkan sebagai salah et al., (2008) yang menyatakan bahwa Minyak satu bahan bakar dan digunakan untuk kebutuhan bahan baku industri, seperti industri pangan serta industri non-pangan, seperti kosmetik dan farmasi. Perkembangan komoditi kelapa sawit dinilai cukup menjanjikan apabila dikelola dengan baik. Kesesuaian lahan juga menjadi pertimbangan dalam mengembangkan komoditi kelapa sawit seperti di wilayah Indonesia yang pada umumnya sangat cocok untuk pengembangan komoditi kelapa sawit tersebut.(Anggreany et al., 2013)

Minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) merupakan produk utama dari perkebunan kelapa sawit yang mengalami pertumbuhan produksi signifikan, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 10,13% selama 3 dasawarsa terakhir. Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditas ekspor. Pangsa produksi CPO Indonesia di pasar internasional senantiasa menunjukkan tren peningkatan. Total produksi minyak sawit dunia pada 2010 sebesar 46,7 juta ton dimana Indonesia dan Malaysia menguasai 85,22% produksi minyak sawit dunia. Pangsa CPO Indonesia sebesar 22,1 juta ton, sedangkan Malaysia sebesar 17,7 juta ton (Product Board for Margarin Fat and Oils, 2010). Namun, Indonesia masih belum mampu bersaing dengan Malaysia dalam industry hilir minyak sawit. Sejak tahun 1996, Malaysia telah mengembangkan industry hilir minyak sawit yang menghasilkan produk hilir minyak sawit dengan nilai tambah yang tinggi dibandingkan dengan melakukan ekspor minyak sawit mentah (CPO).(Nayantakaningtyas & Daryanto, 2012)

Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2011) menunjukkan bahwa 57,97% ekspor minyak sawit Indonesia masih berupa CPO, dan 42,03% dalam bentuk produk olahan sederhana yang berupa olein/ minyak goreng dan oleokimia dasar. Saat ini, Indonesia baru menghasilkan 23 jenis produk hilir minyak sawit dari sekitar 100 produk hilir minyak sawit yang berupa pangan maupun nonpangan. Pemanfaatan CPO untuk produk olahan dilakukan oleh industri pangan (minyakData dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2011) menunjukkan bahwa 57,97% ekspor minyak sawit Indonesia masih berupa CPO, dan 42,03% dalam bentuk produk olahan sederhana yang berupa olein/ minyak goreng dan oleokimia dasar. Saat ini, Indonesia baru menghasilkan 23 jenis produk hilir minyak sawit dari sekitar 100 produk hilir minyak sawit yang berupa pangan maupun nonpangan. Pemanfaatan CPO untuk produk olahan dilakukan oleh industri pangan (minyak goreng, margarin, shortening, cocoa butter substitutes, dan vegetable ghee) dan industri nonpangan seperti oleokimia (fatty acid, fatty alcohol, and gliserin) dan biodiesel (Departemen Perindustrian, 2009). Selain itu, sebagian besar CPO yang diolah di dalam negeri masih berupa produk bernilai tambah rendah yakni minyak goreng (Departemen Perindustrian, 2007). Semakin kompetitifnya persaingan di pasar global dan juga sesuai dengan program peningkatan nilai tambah maka penting untuk mengetahui daya saing minyak sawit di Indonesia dan rumusan strategi yang mampu meningkatkan daya saing tersebut.(Nayantakaningtyas & Daryanto, 2012)


DAFTAR PUSTAKA


Anggreany, S., Lubis, A., & Sardi, I. (2013). Persepsi Petani terhadap Aspek Teknis Komoditi Kelapa Sawit di Desa Ladang Peris Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari. Jurnal Penyuluhan, 9(1), 88–94.
Batubara, L. P. (2003). Potensi Integrasi Peternakan dengan Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Simpul Agribisnis Ruminan. WARTAZOA, 13(3), 83–91.
Gurning, N. (2013). Pembuatan Beton Serat Tandan Kosong Kelapa Sawit. TELAAH Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, 31(1), 13–20.
Nayantakaningtyas, J. S., & Daryanto, H. K. (2012). Daya Saing dan Strategi Pengembangan Minyak Sawit di Indonesia. Jurnal Manajemen & Agribisnis, 9(3), 194–201.
Utomo, B. N., & Widjaja, E. (2004). Limbah padat pengolahan minyak kelapa sawit sebagai sumber nutrisi ternak ruminansia. Jurnal Litbang Pertanian, 23(1), 22–28.



0 komentar:

Posting Komentar